Beranda | Artikel
Hadits Kuraib Tentang Masalah Hilal Shiyaam (Puasa) Ramadlan Dan Syawwal
Minggu, 24 September 2006

HADITS KURAIB TENTANG MASALAH HILAL SHIYAAM (PUASA) RAMADLAN DAN SYAWWAL

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat

أَخْبَرَنِي كُرَيْبٌ، أَنَّ أُمَّ الفَضْلِ بِنْتَ الحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ هِلَالُ رَمَضَانَ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْنَا الهِلَالَ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ المَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي ابْنُ عَبَّاسٍ، ثُمَّ ذَكَرَ الهِلَالَ، فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الهِلَالَ، فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَأَنْتَ رَأَيْتَهُ لَيْلَةَ الجُمُعَةِ؟ فَقُلْتُ: رَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا، وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، قَالَ: لَكِنْ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ يَوْمًا، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَلَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ، قَالَ: لَا، هَكَذَا «أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ»

“Dari Kuraib : Sesungguhnya Ummu Fadl binti Al-Haarits telah mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Berkata Kuraib : Lalu aku datang ke Syam, terus aku selesaikan semua keperluannya. Dan tampaklah olehku (bulan) Ramadlan, sedang aku masih di Syam, dan aku melihat hilal (Ramadlan) pada malam Jum’at. Kemudian aku datang ke Madinah pada akhir bulan (Ramadlan), lalu Abdullah bin Abbas bertanya ke padaku (tentang beberapa hal), kemudian ia menyebutkan tentang hilal, lalu ia bertanya ; “Kapan kamu melihat hilal (Ramadlan) ?
Jawabku : “Kami melihatnya pada malam Jum’at”.
Ia bertanya lagi : “Engkau melihatnya (sendiri) ?”
Jawabku : “Ya ! Dan orang banyak juga melihatnya, lalu mereka puasa dan Mu’awiyah Puasa”.
Ia berkata : “Tetapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari, atau sampai kami melihat hilal (bulan Syawwal) “. Aku bertanya : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah (penglihatan) dan puasanya Mu’awiyah ?
Jawabnya : “Tidak ! Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami”.

Pembahasan
Pertama : Hadits ini telah dikeluarkan oleh imam-imam : Muslim (3/126), Abu Dawud (No. 2332), Nasa’i (4/105-106), Tirmidzi (No. 689), Ibnu Khuzaimah (No. 1916), Daruquthni (2/171), Baihaqy (4/251) dan Ahmad (Al-Fathur-Rabbaani 9/270), semuanya dari jalan : Ismail bin Ja’far, dan Muhammad bin Abi Harmalah dari Kuraib dari Ibnu Abbas. Berkata Imam Tirmidzi : Hadits Ibnu Abbas hadits : Hasan-Shahih (dan) Gharib. Berkata Imam Daruquthni : Sanad (Hadits) ini Shahih.

Saya berkata : Hadits ini Shahih rawi-rawinya tsiqah :
1. Ismail bin Ja’far bin Abi Katsir, seorang rawi yang tsiqah dan tsabit/kuat sebagaimana diterangkan Al-Hafidz Ibnu Hajar di kitabnya “Taqribut-Tahdzib” (1/68). Rawi yang dipakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain.

2. Muhammad bin Abi Harmalah, seorang rawi tsiqah yang dipakai Bukhari dan Muslim dan lain-lain. (Taqribut-Tahdzib 2/153).

3. Kuraib bin Abi Muslim maula Ibnu Abbas, seorang rawi tsiqah di pakai oleh Bukhari dan Muslim dan lain-lain (Taqribut-Tahdzib 2/143).

Kedua : Beberapa keterangan hadits
1. Perkataan Ibnu Abbas : (tetapi kami melihatnya pada malam sabtu) yakni: Penduduk Madinah melihat hilal Ramadlan pada malam Sabtu sehari sesudah penduduk Syam yang melihatnya pada malam Jum’at.

“Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari”, maksudnya : Kami terus berpuasa, tetapi jika terhalang/tertutup dengan awan sehingga tidak memungkinkan kami melihat hilal Syawwal, maka kami cukupkan/sempurnakan bilangan Ramdlan tiga puluh hari, sebagaimana diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam :

فصُومُوا لرؤيته وأَفْطِرُوا لرؤيته فإنْ أُغْمِيَ عليكم فاقدُرُوا لهُ ثلاثين

“Apabila kamu melihat hilal (Ramadlan) maka puasalah, dan apabila kamu melihat hilal (Syawwal) maka berbukalah, tetapi jika awan menutup kalian, maka berpuasalah tiga puluh hari”.[Dikeluarkan oleh Imam Muslim (3/124) dll.]

“Atau sampai kami melihatnya” yakni : Melihat hilal Syawwal, maka kami cukupkan puasa sampai 29 hari. Karena bulan itu terkadang 29 hari dan terkadang 30 hari, sebagaimana dapat kita saksikan dalam setahun (12 bulan) selain itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

الشَّهْرُ هَكَذَا وَهَكَذَا وَهَكَذَا» , ثُمَّ نَقَصَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِبْهَامَهُ , يَعْنِي تِسْعًا وَعِشْرِينَ ,

“Bulan itu (kadang-kadang) sekian dan sekian : “Yakni penjelasan dari rawi, sekali waktu 29 hari dan pada waktu yang lain 30 hari”. (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan dengan tangannya)”. [Dikeluarkan oleh Imam Bukhari (2/230 dan lafadznya) dan Muslim (3/124) dll.]

Berkata Ibnu Mas’ud :
“Kami puasa bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam 29 hari lebih banyak/lebih sering dari 30 hari”. [Dikeluarkan oleh Abu Dawud (No. 2322), Tirmidzi (No. 684) dan Ibnu Khuzaimah (No. 1922).]

Saya berkata : Sanad hadits ini shahih, rawi-rawinya tsiqah dan ada syahidnya dari keterangan Abu Hurairah (Ibnu Majah No. 1658).

2. Pertanyaan Kuraib : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah/penglihatan dan puasanya Mu’awiyah” meskipun penduduk Madinah belum melihat hilal Ramadlan, apakah ru’yah penduduk Syam yang sehari lebih dahulu tidak cukup untuk diturut dan sama-sama berpuasa pada hari Jum’at ?

Kalau pada zaman kita misalnya penduduk Saudi Arabia telah melihat hilal Ramadlan/Syawwal pada malam Jum’at, sedangkan penduduk Indonesia belum melihatnya atau baru akan melihatnya pada malam Sabtu. Apakah ru’yah penduduk Saudi Arabia itu cukup untuk penduduk Indonesia ?

3. Jawaban Ibnu Abbas : “Tidak” yakni : Tidak cukup ru’yahnya penduduk Syam bagi penduduk Madinah. Karena masing-masing negeri/daerah yang berjauhan itu ada ru’yahnya sendiri “Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami”. Keterangan yang tegas ini menolak anggapan orang yang menyangka bahwa ini ijtihad Ibnu Abbas semata.

Dakwaan ini sangat jauh sekali dari kebenaran ! Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Demi Allah ! Tidak terbayang sedikitpun juga oleh seorang Ulama bahwa Ibnu Abbas akan berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk membohongi ummat !.

Ketiga : Hukum Hadits. Hadits ini mengandung hukum sebagaimana dipahami oleh Ulama-ulama kita
1. Berkata Imam Ibnu Khuzaimah -Imamnya para Imam- dalam memberikan bab terhadap hadits ini yang menunjukkan fiqih beliau :

“Dalil tentang wajibnya atas tiap-tiap penduduk negeri puasa Ramadlan karena ru’yah mereka, tidak ru’yah selain (negeri) mereka”.

2. Imam Tirmidzi bab : “Bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru’yah mereka”

Kemudian setelah meriwayatkan haditsnya – Imam Tirmidzi berkata :

“Dari hadits ini telah diamalkan oleh ahli ilmu : Sesungguhnya bagi tiap-tiap penduduk negeri ada ru’yah mereka (sendiri) “.

3. Imam Nasa’i memberikan bab : “Perbedaan penduduk negeri-negeri tentang ru’yah”.

Dan lain-lain Ulama lebih lanjut periksalah kitab-kitab :
(a). Syarah Muslim (Juz 7 hal 197) Imam Nawawi.
(b). Al-Majmu ‘Syarah Muhadzdzab (Juz 6 hal. 226-228) Imam Nawawi.
(c). Ihkaamul Ahkaam Syarah ‘Umdatul Ahkaam (2/207) Imam Ibnu Daqiqil Id.
(d). Al-Ikhtiyaaraatul Fiqhiyyah (hal :106) Ibnu Taimiyyah.
(e) Tharhut Tatsrib (Juz 4 hal. 115-117) Imam Al-‘Iraaqy.
(f). Fathul Baari syarah Bukhari (Juz 4 hal 123-124) Ibnu Hajar.
(g). Nailul Authar (Juz 4 hal. 267-269) Imam Syaukani.
(I). Subulus Salam (juz 2 hal 150-151)
(j). Bidaayatul Mujtahid (Juz 1 hal. 210) Imam Ibnu Rusyd

Dan lain-lain.

Keempat : Menjawab beberapa bantahan dan keraguan.
Mereka yang berpaham apabila telah terlihat hilal (Ramadlan atau Syawwal) di suatu negeri, maka negeri-negeri yang lain meskipun belum melihat wajib mengikuti ru’yah negeri tersebut. Mereka ini membantah faham kami dengan beberapa alasan -meskipun lemah- maka dibawah ini akan kami jawab sanggahan mereka satu persatu Inysa Allahu Ta’ala.

1. Mereka meragukan tentang ketsiqahan Kuraib.
Saya jawab dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Berikanlah keterangan kamu, jika memang kamu orang-orang yang benar”.

Kuraib adalah seorang rawi tsiqah sebagaimana telah saya terangkan pada pembahasan pertama di bawah ini :

Kuraib bin Abi Muslim telah di tsiqahkan oleh Imam-Imam besar seperti : Imam Ibnu Ma’in, Nasa’i dan Ibnu Hibban dll. (Baca Tahdzibit Tahdzib 8/433).
Imam Ibnu Sa’ad di kitab besarnya “Thabaqaatul Kubra” (5/293) mengatakan: “Dia seorang yang tsiqah (dan) bagus/baik haditsnya”.

Berkata Imam Adz-Dzahabi di kitabnya ‘Al-Kaasyif” (3/8 No. 4720). Dan mereka para (para Imam Ahli Hadits) telah mentsiqahkannya. Keterangan Imam Dzahabi ini memberikan faedah : Bahwa Ulama ahli hadits telah ijma’ dalam mentsiqahkan Kuraib. Karena Dzahabi dalam keterangannya memakai lafadz jama’ watsaquuhu.

Kemudian di kitab “Syiar A’laamin Nubalaa” (4/479) Dzahabi menerangkan :”Kuraib bin Abi Muslim, Al-Imam, Al-Hujjah ….

Imam Ibnu Katsir di kitab sejarah besarnya “Al-Bidaayah wan Nihaayah” (9/186) mengatakan “Dia termasuk (rawi/ulama) tsiqah yang masyhur kebaikan dan keta’atannya dalam beragama”.

2. Mereka meragukan keshahihan hadits ini disebabkan gharibnya.
Saya jawab -sekali lagi- dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Itulah batas ilmu mereka”.

Tentang keghariban hadits ini kami tidak membantahnya. Yakni tidak ada yang meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali Ibnu Abbas. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas kepada Kuraib. Dan tidak ada yang meriwayatkan dari Kuraib kecuali Muhammad bin Abi Harmalah. Kemudian tidak ada yang meriwayatkan dari Muhammad kecuali Ismail bin Ja’far. Dari Ismail kebawah sanadnya masyhur karena banyak rawi meriwayatkan dari Ismail diantaranya : Alu bin Hujr As-Sa’dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin As-Sa’dy, Musa bin Ismail, Sulaiman bin Dawut Al-Haasyimy, Yahya bin Yahya, Yahya bin Ayyub dan Qutaibah. Demikianlah sepanjang pemeriksaan kami, Wallahu A’lam !

Apakah Hadits ini tertolak disebabkan kegharibannya ..? Dan apakah setiap hadits itu dla’if/lemah..?

Jawabnya : Kalla tsumma kalla ! Tidak ada yang mengatakan demikian kecuali mereka yang sedikit sekali pengetahuannya tentang ilmu hadits, kalau tidak mau dikatakan tidak faham sama sekali !

Bahkan hadits ini sebagaimana di katakan Tirmidzi : Shahih dan Ghraib : Yakni kegharibannya tidak menghilangkan keshahihan hadits ini. Karena kalau setiap hadits gharib itu dlo’if, niscaya akan tertolak sejumlah hadits-hadits shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidz Imam Ibnu Katsir :

“Maka sesungguhnya ini (yakni setiap hadits gharib) kalau ditolak, niscaya akan tertolak banyak sekali hadits-hadits dari jalan (gharib) ini dan akan hilang banyak sekali masalah-masalah dari dalil-dalilnya”. [Baca : Ikhtisar ‘Ulumul Hadits Ibnu Katsir hal : 58 & 167].

Kedudukan hadits ini sama dengan hadits : ”Innamal – a’maalu – binniyaati”.

Yang shahih tetapi gharib, karena hanya diriwayatkan dari jalan : Yahya bin Said Al-Anshary dari Muhammad bin Ibrahim At-Taimy dari Al-Qamah dari Umar bin Khattab dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian dari Yahya bin Said Al-Anshary sanadnya mutawatir tidak kurang dua ratus rawi yang meriwayatkan dari Yahya.

3. Mereka berfaham bahwa keterangan Ibnu Abbas : “Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami”. Kembali kepada perkataannya : “Maka senantiasa kami berpuasa sampai kami sempurnakan tiga puluh hari atau sampai kami melihat hilal (Syawwal) “.

Saya jawab : Faham ini tidak benar ! Keterangan Ibnu Abbas dengan menggunakan isim isyarat itu kembali untuk menjawab pertanyaan Kuraib : “Apakah tidak cukup bagimu ru’yah dan puasanya Mu’awiyah .?”.
Jawaban Ibnu Abbas : Tidak ! Yakni tidak cukup ru’yah penduduk Syam bagi penduduk Madinah karena masing-masing negeri ini ada ru’yahnya sendiri. Kemudian Ibnu Abbas menegaskan :”Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada kami”.

4. Mereka mengatakan : Bahwa itu hanya ijtihad Ibnu Abbas saja !?.
Kemudian dengan megahnya mereka mengatakan lagi :”Ijtihad kami itu sama dengan ijtihadnya Imam Syaukani di kitabnya “Nailul Authar !?”.

Kami jawab : Lebih tepat dikatakan kamu telah bertaqlid dengan taqlid buta, kepada Imam Syaukani yang berfaham bahwa itu hanya ijtihad Ibnu Abbas (baca : Nailul Authar 4/267-269).

Sekali lagi kami katakan : Patutkah hasil ijtihadnya itu ia sandarkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengatakan kepada ummat “Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, telah memerintahkan kepada kami .?”

Adapun Imam Syaukani (semoga Allah merahmatinya) -tidaklah sama dengan kamu walaupun kamu berangan-angan seperti dirinya- ia telah tersalah dalam ijtihadnya (semoga Allah memberikan pahala ijtihadnya). Lebih dari itu Imam Syaukani telah menyalahi ketetapannya sendiri bahkan madzhabnyaJumhur Ulama. Ia berkata di kitab besarnya tentang membahas Ushul Fiqih, yaitu :”Irsyaadul Fuhuul (hal. 60).

“Adapun apabila shahabat meriwayatkan dengan lafadz yang boleh jadi ada perantara antaranya dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Yakni ia tidak mendengar atau melihat secara langsung dari Rasul tetapi dengan perantara shahabat lain yang mendengar dan melihat langsung), seperti ia berkata :
1. “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam begini”.
2. Atau ia berkata : “Beliau telah memerintahkan begini”.
3. Atau ia berkata : “Beliau telah melarang dari mengerjakan ini”
4. Atau ia berkata : “Beliau telah memutuskan demikian “.

“Maka Jumhur (ulama) berpendapat bahwa (semua lafadz-lafadz di atas) yang demikian menjadi hujjah. Sama saja apakah rawinya itu dari (kalangan) shahabat besar. karena menurut zhahirnya sesungguhnya ia telah meriwayatkan yang demikian itu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kalaupun di taqdirkan disana ada perantara, maka menurut Jumhur mursal shahabat itu maqbul (diterima) dan inilah yang haq (yang benar)”.

Kemudian Imam Syaukani menerangkang beberapa pendapat bantahan yang menyalahi madzhab Jumhur Ulama. Akhirnya ia menutup dengan bantahan yang sangat bagus sekali untuk menguatkan madzhab Jumhur dan pahamnya :

“Sangatlah jauh sekali (dari kebenaran) yaitu shahabat meriwayatkan dengan lafadz seperti di atas padahal yang dikehendaki bukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (yang berkata, memerintah, melarang dan memutuskan)” !? Karena sesungguhnya tidak ada hujjah pada perkataan selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas, baik dimasa hidupnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau sesudah beliau wafat, maka tetap hukumnya marfu’ (sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengannya ditegakkan hujjah”.

Hendaklah para pembaca memperhatikan betul-betul keterangan-keterangan Imam Syaukani di atas tentang lafadz-lafadz yang digunakan shahabat diantaranya “telah memerintahkan”. Seperti lafadz yang digunakan Ibnu Abbas dalam hadits yang jadi pembahasan kita yaitu (amaranaa) Lafadz yang demikian menurut Jumhur Ulama -termasuk Imam Syaukani menjadi hujjah dan terhukum marfu’.

Bahkan Imam Syaukani sendiri membantah orang yang menolaknya dengan perkataannya :”Sangat jauh sekali (dari kebenaran) apabila shahabat meriwayatkan dengan lafadz ini padahal yang dikehendaki bukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam!”.

Tetapi sayang, beliau sendiri telah menyalahi keterangannya dan bantahannya ini di kitabnya “Nailul Authar” sewaktu membahas hadits Ibnu Abbas dengan mengatakan bahwa itu ijtihad Ibnu Abbas !

Tidak syak lagi bagi ahli ilmu bahwa keterangan Imam Syaukani di kitab Ushul Fiqihnya “Irsyaadul Fuhuul” bersama Jumhurul Ulama itulah haq (yang benar) sebagaimana dikatakan sendiri. Sedangkan fahamnya di “Nailul Authar” tertolak dengan bantahannya sendiri : “Sangat jauh sekali (dari kebenaran) ! Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

“Ambillah pelajaran wahai orang-orang yang mempunyai pandangan!”

Sampai disini kami cukupkan jawaban-jawaban kami. Wallahu a’lam bishshawab. [1]

[Disalin dari kitab Al-Masaa-il (Masalah-masalah agama) jilid ke dua, Penulis Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam- Jakarta Cetakan I – Th 1423H/2002M]
________
Footnote
[1]. Ditulis 15-3-1990


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1951-hadits-kuraib-tentang-masalah-hilal-shiyaam-puasa-ramadlan-dan-syawwal.html